Perang Tarif Jasa Notaris Berkah atau Musibah

  • Bagikan

Oleh : Partomuan Saulus Rivai Hutapea, S.H,  Mahasiswa Program Studi Kenotariatan  Fakultas Hukum Universitas Pancasila 

Beberapa waktu lampau, Anda, saya maupun masyarakat Indonesia mungkin pernah terbang naik pesawat dengan harga “super murah”. Saat itu, berbagai maskapai penerbangan berlomba-lomba memasang tarif murah. Bagaimana tidak murah, terbang dari Jakarta ke daerah Sumatera misalnya, cukup merogoh kocek saku 250-300 ribu rupiah. Murah, bahkan sangat murah sekali. Jauh lebih murah ketimbang naik kendaraan pribadi ataupun bus. Tidak sampai 1 jam lamanya, kita telah mendarat di daerah yang kita tuju. Jauh lebih cepat ketimbang naik mobil pribadi atau bus selama 3 hari dua malam.

Sejak dulu, saat ini, bahkan mungkin masa depan “perang tarif” ini, tetap terjadi dan sulit untuk dihilangkan. Tak hanya di dunia bisnis perdagangan ritel dan kulakan, saat ini persaingan tarif, telah merambah ke banyak sektor, seperti dunia ekonomi dan perdagangan, transportasi penjualan kendaraan bermotor, asuransi, bahkan merambah pula ke dunia pelayanan dan jasa, seperti kesehatan dan dunia kenotariatan.

Khusus di dunia kenotariatan, belakangan “persaingan” honor jasa Notaris juga mencuat ke permukaan dan bahkan tidak jarang menjadi sorotan masyarakat. Apakah Notaris haram menerima honorarium? Jawabannya, tentu saja tidak. Honorarium sendiri adalah sebuah hak yang diterima Notaris karena jasa pelayanan yang diberikannya kepada para pihak penghadap atau klien. Pasal 36 Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris (UUJN) telah menetapkan jumlah honorarium yang dapat diterima Notaris. Jadi, Notaris dapat saja meminta jasa honorarium berdasarkan kesepakatan dengan klien nya, namun tidak boleh menabrak apa yang telah diatur. Selain Pasal 36 UUJN, besarnya honorarium jasa Notaris juga telah ditetapkan di Pasal 3 ayat (13) Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia (INI). INI mewajibkan kepada seluruh anggotanya untuk mentaati ketentuan tentang honorarium yang diterima Notaris sebagaimana yang telah ditetapkan perkumpulan. Pengaturan mengenai tarif honorarium Notaris ini sendiri bertujuan agar terjadi pemerataan di setiap daerah di seluruh Indonesia dan untuk menghindari adanya persaingan tidak sehat antar Notaris itu sendiri.

Jika UUJN dan Kode Etik INI telah menetapkan jumlah honorarium yang dapat diterima Notaris, lantas kenapa “perang tarif” tetap terjadi, bahkan belakangan ini semakin tak terkendali alias under control?  Apa pula dampak buruknya bagi pemakai jasa Notaris dan masyarakat pada umumnya dari merebaknya “perang tarif” jasa Notaris yang cenderung tak terkendali ini?

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *