Penyeludupan Hukum Ke dalam Akta Notariil (Bag.1)

  • Bagikan
Dr.I Made Pria Dharsana,SH.,M.Hum

Pengalaman membuktikan menunjukkan bahwa perbuatan hukum orang asing dalam hal penguasaan hak atas tanah disebut sebagai penyelundupan atas hukum karena akta-akta yang dibuat bertentangan dengan itikad baik. Akibatnya terhadap penyelundupan hukum yang dilakukan oleh orang asing bahwa akta-akta notarial yang dibuat dihadapan Notaris – PPAT oleh pengadilan dinyatakan bertentangan dengan hukum. Negara hanya mengakui kepemilikan atas tanah tersebut adalah milik WNI yang tercantum di dalam sertipikat. Perananan tanggung jawab Notaris – PPAT bisa jadi dinyatakan ikut berperan dalam persengketaan dan dapat didudukkan sebagai tergugat, turut tergugat, saksi, tersangka, ataupun terdakwa.

Konsekuensinya bergantung sejauhmana keterlibatan Notaris – PPAT dan besar kecilnya kesalahan atau kelalaiannya dalam melakukan jabatannya. Ketika terjadi penyelundupan hukum, seorang Notaris – PPAT dapat dimintakan pertanggungjawaban yakni dapat dikenakan sanksi pemberhentian dari jabatannya atas usul Majelis Pengawas Daerah (MPD) ke Majelis Pengawas Wilayah (MPW) , Majelis Pengawas Pusat Notaris (MPPN) dan Ke Menteri Hukum dan HAM selaku Pengawas dan Pembina Notaris.

Indonesia sebagai negara yang berdaulat berkewajiban melindungi warga negaranya (asas nasionalitas). Asas nasionalitas ini terdapat dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) Pasal 21 ayat 1 yang menyatakan, “Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”. Pemegang Hak Milik mempunyai hak untuk berbuat bebas atas tanah miliknya itu, artinya pemegang Hak Milik mempunyai hak untuk memindahtangankan tanahnya itu dengan jalan menukarkan, mewariskan, menghibahkan atau menjualnya kepada orang atau pihak lain karena hak milik mempunyai sifat kebendaan dan memberikan arti demikian kepada pemilik tanah, maka sewajarnyalah Hak Milik itu hanya disediakan untuk warga negara Indonesia saja dan warga negara asing dengan jalan apapun tidak dapat menguasai tanah di Indonesia dengan Hak Milik (Mustafa, 1988).
Pulau Dewata Bali (Kota Denpasar, Bali) sebagai salah satu tujuan wisata bagi mancan negara telah memiliki rencana induk pembangunan ekonomi dan konsep dasar pengembangan pariwisata, demikian pula Ibu kota Jakarta sebagai pusat perdagangan dan bisnis di Indonesia. Peningkatan pembangunan ekonomi dan pengembangan pariwisata berupa pembangunan fisik tentunya sangat memerlukan penyediaan dan pengadaan tanah seperti misalnya untuk pembangunan hotel-hotel, tempat-tempat rekreasi dan sarana penunjang lainnya. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, hanya mengenal adanya perbedaan penduduk atas Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA).
Perbedaan penduduk tersebut berimplikasi pada kedudukan hukum terhadap setiap hubungan hukum yang timbul antara warga negara asing dengan tanah dan atau antara warga negara asing dengan warga negara Indonesia terhadap tanah, seperti halnya dalam bidang perkawinan, pertanahan dan perjanjian lainnya. Secara yuridis formil orang asing tidak dimungkinkan untuk memiliki tanah berstatus “Hak Milik”, namun adanya praktik yang telah terjadi di Bali dan Jakarta selama ini bahwa orang asing melakukan pembelian tanah yang berstatus Hak Milik dengan meminjam nama seseorang (nomine) yang berkewarganegaraan Indonesia (warga Bali atau Jakarta) dan dibuat perjanjian utang piutang yang seolah-olah orang yang dipinjam namanya tersebut telah berhutang kepada orang asing dengan menjadikan tanah yang dibeli tersebut sebagai jaminan utangnya.

Peran Notaris – PPAT tentu menjadi sangat penting untuk mengkaji lebih dalam, terutama adanya kemungkinan penggunaan akta-akta otentik tersebut sebagai sarana yang dilakukan oleh para pihak (orang asing dan orang berkewarganegaraan Indonesia yang dipinjam namanya) untuk melakukan penyelundupan hukum mengenai pemilikan dan penguasaan tanah.

Satu contoh kasus terjadi di Kota Denpasar, Bali, dimana warga negara asing bermaksud untuk memiliki tanah di Bali, maka jalan pintas yang ditempuh adalah dengan memakai nama warga negara Indonesia (WNI) untuk tercatat sebagai pemilik atau pemegang hak atas tanah berdasarkan sertipikat. Kemudian oleh Notaris dibuatkan surat-surat lainnya sebagai pegangan bagi warga negara asing selaku pembeli yang sebenarnya yaitu berupa akta pengakuan utang, surat kuasa menjual, akta pengikatan jual beli, surat pernyataan dan lain-lain. Perjanjian-perjanjian (Notariil) tersebut di atas secara yuridis formil tidak melanggar aturan namun secara materiil sebenarnya telah terjadi pemindahan hak milik secara terselubung, yang jelas merupakan penyeludupan hukum (Sumardjono, 2009).

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *