Notaris-PPAT Harus Paham Hakekat Klausula Eksonerasi (Bag.2)

  • Bagikan

 

Oleh : Dr. I Made Pria Dharsana,SH.,M.Hum
Notaris dan PPAT,Akademisi,Pakar Hukum dan Tim Pakar PP Ikatan Notaris Indonesia

Kabarnotariat.id – Pencantuman klausula eksonerasi dalam praktik ramai terjadi, bukan saja terjadi bagi para pihak yang melakukan perjanjian, namun dalam kehidupan sehari-hari yakni dalam kegiatan perdagangan, perjanjian baku sering mengandung klausula eksonerasi itu dicantumkan misalnya di dalam form perjanjian yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan kepada masyarakat, seperti dalam penjualan tiket tiket pesawat angkutan penumpang udara, perusahaan pengangkutan laut maupun transportasi darat, perusahaan lising (leasing corporate), perusahaan perbankan, perusahaan asuransi, kegiatan pinjam-meminjam uang, dan lain-lain, semua kesepakatan dicantumkan dalam bentuk klausula baku, ada yang sudah terlebih dahulu dibuat dalam bentuk formulir dan adapula yang dibuat dengan cara bernegosiasi langsung di antara para pihak.

Secara hukum walaupun klausula eksonerasi dilarang, namun dalam praktik perdagangan dalam perjanjian/kontrak baku tidak jarang ditemukan pencantuman klausula eksonerasi yang bersifat baku yang ujung-ujungnya untuk menguntungkan bagi pihak yang memiliki posisi tawar (bargaining position) yang kuat di dalam perjanjian/kontrak.

Klausula eksonerasi ini sesungguhnya telah diatur dalam pula dalam pasal 1493 dan 1494 KUHPerdata. Pasal 1493 menyatakan bahwa kedua belah pihak dengan persetujuan persetujuan istimewa boleh memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan undang-undang dan bahkan mereka boleh mengadaakan persetujuan bahwa penjual tidak menanggung sesuatu apapun. Tapi pada Pasal 1449 B.W. mengatakan: bahwa “Perikatan-perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya”.

Kalau undang-undang memberikan hak untuk menuntut pembatalan perjanjian-perjanjian yang pada waktu penutupannya mengandung cacat dalam kehendak, maka bisa kita simpulkan, bahwa “Perjanjian yang mengandung cacat dalam kehendak lahir (ada), tetapi bisa dituntut pembatalannya”. Dapat “dituntut pembatalannya” dalam peristiwa di atas berarti, perjanjian itu tidak batal, hanya saja perjanjian seperti itu dapat dituntut pembatalannya. Konsekuensinya, kalau perjanjian seperti itu ternyata tidak dituntut pembatalannya, maka perjanjian itu mengikat

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *